HAZRAT
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Falsafatuna bagian ke - 3

Go down

Falsafatuna bagian ke - 3 Empty Falsafatuna bagian ke - 3

Post by adiclass Wed Feb 21, 2018 7:40 pm

Sebelumnya oleh Plato kita telah dibawa untuk mengingat dan mengulang kembali yang telah kita lalui di dalam 'alam ide'. Belum sampai kita mengingat semuanya, Rene Descartes beserta 'komplotannya' menarik kita dan berujar mengenai konsep platonik yang lemah, konsep yang tidak mampu menjelaskan bagaimana kondisi-kondisi jiwa turun pada ranah materi.

Berlanjut kepada pembahasan berikutnya, kita akan membahas mengenai teori empiris.

Teori Empiris
Teori yang mengatakan bahwa indra adalah satu-satunya alat yang menjadi media penginformasian akal. Konsepsi dan gagasan manusia merupakan cerminan dari berbagai persepsi indrawi. Artinya, konsepsi tentang sesuatu merupakan hasil dari pengindraan. Ketika kita mengindrai sesuatu, maka konsep itu akan hadir menjadi berupa konsep-konsep dan gagasan-gagasan kedalam akal-budi kita.

Menurut teori ini, Akal-budi hanya bertugas mengelola gagasan-gagasan dan konsepsi-konsepsi yang didapat dari pengindraan. Akal-budi yang menyusun serta membagi-bagi konsepsi dan gagasan. Seperti misalnya ketika akal berupaya mengkonsepsikan Danang dengan George, maka akal akan mengurangi setiap kekhasan yang membedakan antara Dadang dengan George. Melalui substraksi atau pengurangan ini, maka akal menyimpulkan suatu gagasan abstrak yang berlaku untuk Danang maupun George.

Bolehlah bila dikatakan John Locke adalah tokoh pertama penganut teori ini. Ia naik kepermukaan ketika gagasan-gagasan descartes mengenai ide fitri sedang naik daun. Ia berani melawan arus dengan membuat studi khusus mengenai pengetahuan manusia yang dituangkan kedalam karyanya, Essay on Human Understanding. Ia berusaha mengembalikan mengenai gagasan ide kepada indra. Teori ini kemudian menyebar luas dikalangan para filosof. John Locke dengan cerdas mampu mengugurkan konsep mengenai ide fitri, hingga beberapa filosof kemudian mengikuti konsep John Locke hingga pada bentuknya yang sangat extrem, dan dapat dikatakan mengarah pada konsep pemikiran filsafat yang berbahaya, semisal seperti filsafar David Hume dan Barkeley. (Kita akan bahas soalan ini nanti)

Kemudian Marxisme yang dengan jelas mencangkok teori empiris dalam upayanya menjelaskan seluk-beluk pengetahuan manusia. Menurutnya, setiap pengetahuan atau pemikiran dapat dinisbatkan kepada cerminan realitass tertentu, dan hal ini terjadi melalui proses pengindraan. Sebab pengetauan tidak akan mungkin dihubungkan dengan sesuatu yang berada diluar batas tangkapan indrawi kita.
Georges Politzer (1903-1942) berkata : [1]

“Tetapi, apakah titik mula kesadaran atau pikiran itu? Itulah penginderaan (sensasi). Lebih jauh, sumber penginderaan yang dialami manusia berakar pada kebutuhan alaminya.”

Ia juga berkata :[2]
“Jadi, pendapat Marxisme dapat berarti bahwa tak ada sumber bagi kandungan kesadaran kita selain partikular-partikular objektif yang disodorkan kepada kita oleh kondisi-kondisi eksternal tempat kita hidup. Partikular-partikular ini diberikan kepada kita lewat persepsi-persepsi inderawi.”

Mao Tse Tung (1893-1976)[3] dalam menjelaskan persoalan tersebut berkata :[4]
“Sumber segala pengetahuan itu tersembunyi dalam penginderaan oleh organ-organ penginderaan dalam jasmani manusia terhadap alam objektif yang mengelilinginya. Jadi, langkah pertama dalam proses mendapatkan pengetahuan adalah hubungan primer dengan lingkungan luar – inilah tahap penginderaan.[5] Langkah kedua ialah akumulasi – yakni pengurutan dan pengorganisasian – semua pengetahuan yang telah kita dapatkan dari persepsi-persepsi inderawi.” [6]

Teori empiris mendasarkan pada eksperimen. Eksperimen ilmiah menunjukkan bahwa indralah yang memberikan akal kita persepsi-persepsi sehingga menghasilkan konsepsi. Perlu dipahami juga bahwa dalam eksperimen, ia tidak menafikkan kemampuan akal-budi dalam melahirkan pengertian-pengertian yang baru yang tidak diketahui indra.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka indra merupakan alat primer dalam membangun konsepsi manusia, namun demikian bukan berarti akal hampa dalam menciptakan ide dari agensi serta penciptaan konsepsi baru berdasarkan yang di tangkap oleh indra. Kegagalan teori empirikal dalam upaya mengembalikan konsepsi manusia pada indra dapat dijelaskan berdasarkan pada studi mengenai beberapa konsep akal manusia seperti konsep sebab-akibat, substansi dan aksiden, kemungkinan dan kemestian, kesatuan dan kebergandaan (multiplicity), wujud dan tak-wujud, serta konsep serupa lainnya.


David Hume – salah satu tokoh empirisme. Ia mampu secara akurat menerapkan teori empirisme, Kausalitas yang ia definisikan dalam artian yang sebenarnya, adalah tidak mungkin diketahui oleh indra. Oleh karena itu, David Hume mengingkari prinsip kausalitas, dan mengembalikannya kepada kebiasaan pengasosiasian ide. Ia berkata :[7]

“Aku melihat bola bilyard bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tapi, dalam gerak bola yang pertama, tak ada yang menampakkan kepadaku keharusan gerak bola yang kedua. Indra batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh itu mengikuti perintah kehendak. Tetapi, hal itu tidak memberikan kepadaku pengetahuan langsung mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah itu.”

Persoalannya kemudian adalah, apa dengan mengingkari prinsip kausalitas secara mutlak, mampu memecahkan problem yang dihadapi empirisme? Sama sekali tidak. Sebab pengingkaran terhadap prinsip kausalitas, berarti juga tidak membenarkan kausalitas sebagai hukum diantara hukum-hukum realitas objektif, serta kita tidak akan dapat mengetahui keterkaitan antara fenomena satu dan lainnya.

Inilah fakta yang tidak mungkin dapat diingkari, bahwa ketika membenarkan ataupun mengingkari prinsip kausaitas, pada realitasnya, membenarkan dan mengingkari memiliki keterkaitan kausalitas.

Begitulah kiranya mengenai teori empirisme, di episode selanjutnya kita masih akan membahas mengenai teori yang mencoba memecahkan dari mana sumber pengetahuan yang hakiki.


____________________________________________________________________
1. Georga Politzer adalah seorang komunis Prancis. Lahir di Hongaria. Pada usia tujuh belas tahun meninggalkan tanah kelahirannya menuju Prancis. Semenjak itu ia menjadi salah seorang Prancis paling patriotik. Ia adalah anggota Partai Komunis Prancis, dan banyak sumbangannya ternadap koran Partai ini, L ‘Humanite. Pada 1940, melalui partainya ia mendorong orang untuk membela Paris melawan orang-orang Jerman. Pada 1941, ia menulis dan mengedarkan sebuah pamflet setebal 45 halaman yang dinamakannya Revolution and Counterrvolution in the Twentieth Century. Pada 1942, ia dipenjarakan bersama dengan 140 orang komunis. Ia dieksekusi pada tahun in juga. Karya utamanya adalah Elementary Principles of Philosophy.
2. Mao Tse Tung dilahirkan di Cina bagian tengah. Pada usia enam tahun, ia mulai bekerja di ladang bersama ayahnya, seorang petani. Ketika berusia delapan tahun, ia masuk SD setempat sampai berusia tiga belas tahun. Setelah melanjutkan pendidikannya di propinsinya sendiri, ia bergabung dengan Partai Komunis di Peking. Ia memimpin perlawanan terhadap Kuomintang di bawah Chiang Kai-shek. Pada 1 Oktober 1949, ia menjadi pemimpin pertama RRC sampai 1959.
3. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 75.
4. Ibid., h. 71-72.
5. Hawl al-Tathbiq, h.11.
6. Ibid., h. 14.
7. Renungkan subjek ini pada segala sisinya, takkan pernah kau dapati sebab lain apa pun bagi ide ini. Inilah pcrbedaan satu-satunya antara satu contoh, yang darinya kita takkan pernah menerima ide hubungan, dan sejumlah contoh serupa, yang melaluinya itu tersugestikan. Pertama kali orang melihat komunikasi gerak melalui impuls, sebagaimana melalui guncangan dua bola biliar, ia tak dapat menyatakan bahwa satu peristiwa itu terhubungkan, tetapi hanya bahwa itu terhubungkan dengan yang lain, Setelab mengamati beberapa contoh alam ini, maka ia menyatakan bahwa itu berhubungan. Pengubahan apa yang telah melahirkan ide baru hubungan ini? Tak ada apa-apa kecuali bahwa ia kini merasa bahwa peristiwa-peristiwa ini berhubungan dalam imajinasinya, dan segera dapat meramalkan adanya yang satu disebabkan adanya yang lain.” (The Enquiry concerning Human Understanding, VII, Edisi 1772, h. 88-89).

______________
sumber: alizatrianisepti.blogspot.co.id/

adiclass

Jumlah posting : 8
Join date : 19.02.18

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik