GEBU HUJAN

Geram dan gemas, barangkali adalah emosi pelengkap gerimis di kota Bandung. Bandung mendadak jadi cantik ketika dingin, dan juga, bisa jadi bengis pada saat bersamaan. Bukan kota ini yang perlu kita salahkan, tetapi karena gerimis dan rintik hujan yang mendesah, yang mencairkan memori serta kenangan yang mustahil kita rangkul kali ini.

Barangkali hujan adalah semacam tape recorder, dia bisa merekam apa saja di hari kemarin. Dia bisa merekam ingatan, suara, visualisasi, dan juga tekstur. Suara gemericik yang melantunkan nada-nada di atas genteng lalu membawa imajinasi kita ke alam lain, di suatu masa lalu: tentang kau yang meresahkan risau karena dingin, dan aku yang menawarkan peluk demi hangatmu.

Tapi apa daya, pelukan itu kini kehilangan tuannya, “kau”, telah dirampas jarak!
Kita memang manusia yang lemah nyatanya. Kita rapuh dan dilemahkan rindu. Sementara ini meskipun baru sebulan semenjak perpisahan di bandara itu, aku belum juga mengerti bagaimana menghibur jiwa yang dipisahkan oleh sahabatnya.

Untunglah kau disibukkan dengan pudingmu, semoga saja cukup untuk meredakan susah hati karena tidak jumpa. Biar kesunyian dan sepi yang pernah meremuk batin itu, kusimpan sendiri. Diam-diam aku memahami ungkapan Pidi Baiq yang terkenal itu:
“Jangan rindu. Ini berat.
Kau tak akan kuat.
Biar aku saja...”

Tetapi apakah yang menyulut keberanian ini untuk tetap eksis? Keberanian menantang lebatnya hujan dan tajamnya sungkawa? Keberanian yang membuat kita tegar berdiri pada pucuk-pucuk pengharapan; keberanian yang mengenyahkan angan untuk menyerah pada komitmen.
Hubungan kita tidak hanya diasuh oleh janji dan mimpi, tetapi juga nalar dan intuisi, yang menjelma dalam tiap doa-doa tengah malam, atau selepas subuh berkumandang.

Orang lain bisa saja pupus di tengah perjuangannya, tetapi tidak untuk kita sayang.
Karena, Mak comblang kita adalah Tuhan Yang Maha Esa; Allah SWT.